Ahok Alias Basuki Tjahaya Purnama |
Ketika saya membaca kabar tentang pencabutan banding mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, saya termasuk salah seorang yang terkejut dan, untuk beberapa saat, menganggap langkah ini sebagai sebuah kekeliruan. Saya dengan cepat memosting status pendek bahwa langkah itu dilakukan karena "kemungkinan ia khawatir akan mendapat hukuman lebih tinggi di tingkat (banding) Pengadilan Tinggi & Kasasi (Mahkamah Agung)."
Respon publik tentu juga sangat bervariasi thd kabar tsb., karena mungkin informasi yang dijadikan dasar masih belum lengkap. Sebagai ilustrasi, di TL facebook saya reaksi dari para komentator berupa segala macam spekulasi mengenai apa yang mendasari keputusan pencabutan banding tsb: mulai dari alasan yang sangat moralistik dan metafisik, sampai yang paling pragmatik teknis. Namun umumnya arusnya sama: keputusan Ahok tsb cenderung dinilai positif dan menampilkan sifat dan sikap terpuji beliau.
Hari ini, Selasa 23/5/17, pihak keluarga dan tim pengacara Ahok menggelar konperensi pers untuk menjelaskan alasan yang mendasari keputusan pencabutan banding, dengan cara membacakan surat pribadi Ahok dari tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua. Karena hal ini merupakan pandangan pribadi pihak yang berhak melakukan banding, tentu saja sangat otentik, kendatipun tetap saja tak bisa menghindari adanya interpretasi dari pihak lain. Dari apa yang dibacakan oleh isteri beliau, Ibu Veronica Tan (VT), memang jelas bahwa Ahok mengambil keputusan mencabut banding itu setelah melakukan perenungan dan pemikiran mendalam serta mempertimbangkan berbagai sudut pandang.
Pada intinya alasan mantan Gubernur DKI itu adalah beliau tak ingin menambah persoalan bagi rakyat DKI, termasuk para pendukung beliau dengan melanjutkan upaya banding yg menjadi haknya. Sebab, dalam pandangan Ahok, proses itu akan berpotensi menimbulkan kegaduhan dan menyebabkan ketidaknyamanan publik Jakarta, dan bahkan gangguan ekonomi. Ahok tak menginginkan kasusnya menjadi bagian dari sumber persoalan tsb dan lebih memilih menjalani hukuman 2 (dua) tahun penjara dengan tuntas.
Namun ada implikasi yang lebih jauh yang dipikirkan oleh Ahok. Jika proses hukum berjalan, mau tidak mau PJ akan dikait-kaitkan. Padahal orang nomor satu tsb saat ini sampai 2019 harus berkonsentrasi melakukan berbagai program dan kebijakan strategis nasional. Belum lagi berbagai goyangan yang diarahkan kepada pemerintahan dan pribadi beliau yang belum mereda. Kesetiaan Ahok kedua adalah kepada PJ. Beliau tak menginginkan masalah hukum dan politiknya mengganggu sahabat dan sekaligus Presiden Republik yang sedang berkonsentrasi membangun negeri.
Hemat saya, setelah mendengarkan pandangan tsb, Ahok sejatinya TAK PUNYA kekhawatiran apapun terkait proses hukum yang dihadapinya. Beliau justru khawatir terhadap apa yang akan dialami pihak lain, terutama masyarakat dan para pendukung beliau jika proses itu berjalan berlarut-larut karena akan menimbulkan gejolak dan berkepanjangan dan unpredictable. Inilah kesetiaan Ahok yang pertama: setia kepada publik dan pendukungnya.
Dan kesetiaan ketiga, tentu kepada keluarganya sendiri. Tidak ada jaminan bahwa proses hukum yang berlarut-larut itu tak akan memengaruhi kehidupan keluarga, khususnya dalam aspek keamanan mereka. Kendati simpati publik di negeri ini sangat besar terhadap beliau dan keluarganya, namun lebih baik jika berhati-hati dalam kondisi yang sangat volatile karena kasus tsb. Bagaimananpun keluarga adalah jangkar paling penting, dan kesetiaan serta loyalitas kepadanya sangat utama.
Saya belum yakin Ahok tertarik dengan mengajukan remisi atau bahkan PK. Beliau mungkin saja mau menerimanya tetapi hanya apabila langkah tsb tidak akan menggangu kepentingan besar tsb. Saya kini lebih bisa memahami keputusan Ahok untuk mencabut banding dan malah menghormatinya. Karena beliau lebih mementingkan kesetiaan kpd publik ketimbang kepentingan pribadi. Suatu hal yang nyaris tak pernah ada dalam perpolitikan kita.
Keputusan Ahok, dengan demikian, bukan hanya berangkat dari alasan kepentingan pribadi belaka, tetapi juga kepentingan yang jauh lebih luas. Resiko selalu ada, namun mesti dipertimbangkan mana yang lebih kecil bagi kepentingan publik yg jauh lebih besar. Menerima hukuman dianggap oleh Ahok sebagai resiko terkecil ketimbang merusak kesetiaan keada para rakyat, pendukung, sahabat/ Presiden, dan keluarga. Khususnya PJ, beliau memiliki tanggungjawab paling besar, yaitu bangsa dan NKRI.
Bravo Pak Ahok!!
Oleh: Prof. Muhammad A S Hikam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar